MAKALAH
HUKUM PERKAWINAN
Menurut UU no. 1
Tahun 1974
Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah
“Hukum Perdata”
Yang dibimbing oleh Bapak Mohammad Hasib SH, MH.
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5 :
* JUARIKA (14187205018)
*
SOPIYAH PUJI LESTARI (14187205031P4)
* LILIK (14187205030P4)
* LILIK (14187205030P4)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
STKIP PGRI TULUNGAGUNG
September, 2015
makalah hukum perkawinan menurut uu no.1 tahun 1974
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima, serta
petunjuk‐Nya sehingga kami diberikan kemampuan dan
kemudahan dalam penyusunan Makalah Hukum Perkawinan.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih belum cukup baik, kami menyadari masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini. kami juga
menyadari bahwa kami masih banyak mempunyai keterbatasan pengetahuan dalam
materi, sehingga menjadikan keterbatasan bagi saya pula untuk memberikan
penjelasan yang lebih dalam tentang masalah ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, saya mohon
maaf sebesar-besarnya bila terdapat kekurangan dan kesalahan. semoga makalah
ini membawa manfaat bagi kita dan juga dapat menambah pengetahuan kita agar
dapat lebih luas lagi.
Tulungagung,
28 September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ ……... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ …....... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ........... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... …...... .iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................... …...... iv
B.
Rumusan Masalah ............................................................................... …….. v
C.
Tujuan Penulisan ................................................................................. …….. vi
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan……………………………………………………… 1
B. Hakikat, Asas, Sifat, Syarat, Dasar, dan
Tujuan Perkawinan……………….. 2
C. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami
Istri………………………. 2
D. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta
Perkawinan……………….. 3
E. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap
Keturunan……………………….. 3
F. Putusnya Perkawinan………………………………………………………… 4
G. Akibat Putusnya Perkawinan…………………………………………………
5
H. Sumber Hukum Perkawinan…………………………………………………. 5
I.
Prinsip
UU No.1 Tahun 1974………………………………………………… 8
J. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak yang
Dilahirkan……………..10
K. Kdudukan Anak dan Perwaliannya……………………………………………11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... ..………12
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... ….….. .
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Suatu
akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad
yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun
yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah,
adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta
rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada
kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya
saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang
tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki
oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan
tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar
terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh
petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda.
Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan
yang terjadi di tengah masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa Pengertian Perkawinan?
b. Apa Hakikat, Asas, Sifat, Syarat, Dasar, dan
Tujuan Perkawinan?
c. Apa Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami
Istri?
d. Apa Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta
Perkawinan?
e. Apa Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap
Keturunan?
f. Apa yang Mendasari Putusnya Perkawinan?
g. Apa Akibat Putusnya Perkawinan?
h. Apa Sumber Hukum Perkawinan?
i. Sebutkan Prinsip UU No.1 Tahun 1974?
j. Apa Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
yang Dilahirkan?
k. Apa Kdudukan Anak dan Perwaliannya?
C. TUJUAN MASALAH
a. Untuk Mengetahui Pengertian Perkawinan?
b. Untuk Mengetahui Hakikat, Asas, Sifat, Syarat,
Dasar, dan Tujuan Perkawinan?
c. Untuk Mengetahui Akibat Hukum dari Perkawinan
terhadap Suami Istri?
d. Untuk Mengetahui Akibat Hukum dari Perkawinan
terhadap Harta Perkawinan?
e. Untuk Mengetahui Akibat Hukum dari Perkawinan
terhadap Keturunan?
f. Untuk Mengetahui Putusnya Perkawinan?
g. Untuk Mengetahui Akibat Putusnya Perkawinan?
h. Untuk Mengetahui Sumber Hukum Perkawinan?
i. Untuk Mengetahui Prinsip UU No.1 Tahun 1974?
j. Untuk Mengetahui Hak dan Kewajiban Orang Tua
Terhadap Anak yang Dilahirkan?
k. Untuk Mengetahui Kdudukan Anak dan Perwaliannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PERKAWINAN BERDASARKAN UU NO.1 TAHUN 1974
Dalam
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan
pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan
dengan rumusan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Jika
diperhatikan bagian pertama pasal tersebut perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Dari
kalimat di atas jelas bahwa perkawinan itu baru ada apabila dilakukan oleh
seorang lelaki dengan seorang perempuan. Seiring dengan perkembangan jaman
sering dijumpai di dalam masyarakat terdapat hubungan antara seorang pria
dengan seorang pria yang disebut homo seksual atau seorang wanita dengan seorang wanita yang disebut lesbian,
hubungan ini tidak dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan, karena di Negara
Indonesia tidak mengatur perkawinan sesama jenis dan di dalam hukum agamapun
tidak diperbolehkan adanya perkawinan sesama jenis.
Dengan
demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam
Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya
boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami. Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini
diberikan apabila Poligami ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan sepanjang Hukum Agama yang
bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh alasan dan persyaratan yang
ketat yaitu dengan izin Pengadilan.
Dari
uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan
rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar
falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.
B.
HAKIKAT, ASAS, SIFAT , SYARAT, DASAR, dan TUJUAN PERKAWINAN MENURUT UU
NO.1/1974
Menurut
UU No.1/1974 Hakikat Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa
ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan
lahir dan batin merupakan fondasi atau Dasar dalam membentuk dan membina
keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan
demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka,
tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami
istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu
perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Asas Perkawinan
adalah Monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya
dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang
perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. Hal ini
tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974.
Dengan
adanya Asas Monogami serta Tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam
hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta
dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat
yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak
juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu
mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai
berulang-ulang).
C.
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN TERHADAP SUAMI ISTRI MENURUT UU NO.1/1974
Pasal 30 sampai dengan
34 UU No.1/1974, yang isinya:
a. Suami
istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat.
b. Suami
istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
c. Hak
dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama masyarakat.
d. Suami
istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
e. Suami
adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai
dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan
sebaik-baiknya.
f.
Suami istri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani,1985,hlm.98).
D.
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN TERHADAP HARTA PERKWINAN MENURUT UU No.1/1974
Pasal
35 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
E.
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN TERHADAP KETURUNAN MENURUT UU No.1/1974
Mengenai
keturunan juga diatur dalam UU No.1/1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan
44. UU No.1/1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang
diatur oleh UU No.1/1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai
konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Bagi
seorang anak yang tidak sah UU No.1/1974 menentukan bahwa anak itu hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan
demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.
Seorang
suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari
istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak
itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No.1/1974).
Untuk
membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan:
1. Akta
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Jika
hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal
usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas
dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran
bagi anak yang bersangkutan.
Anak
luar kawin (anak tidak sah) menurut UU No.1/1974 tetap mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
F.
PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT UU No.1/1974
Mengenai
putusnya perkawinan serta akibatnya diatur dalam Bab VIII UU No.1/1974, Pasal
38 sampai dengan 41. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah kematian,
perceraian, dan dapat pula karena putusan pengadilan.
Pasal
39 ayat (2) UU No.1/1974 serta Pasal 19 PP No.9/1975 memuat mengenai
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dan isinya antara kedua
Pasal tersebut sama, yaitu :
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak lain.
e. Antara
suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
G. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT UU
No.1/1974
Salah
satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian. Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian (terhadap anak/keturunannya):
1. Ibu/bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak
pengadilan akan memutuskannya.
2. Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak-anak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974).
Bagi
Pegawai Negeri Sipil, maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran
No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil.
H. LOGKA SISTEM (SUMBER HUKUM
PERKAWINAN )
Undang-undang
perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat yang sejak zaman kerajaan Islam
(sebelum Indonesia dijajah Belanda) sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki
pengadilan agama dengan berbagai nama yaitu Pengadilan Penghulu, Mahkamah
Syari’ah dan Pengadilan Surambi. Setelah merdeka, pemerintah Republik Indonesia
telah membentuk sejumlah peraturan tentang Pengadilan Agama. Di antaranya
adalah pembentukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan rujuk. Akan tetapi dari segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan
hukum formil dan hukum materiil, maka Undang-undang Nomor 22 tahun1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan rujuk, belum dapat dikatakan sebagai hukum formil
maupun materiil karena Undangundang tersebut lebih menekankan akan pentingnya
pencatatan perkawinan.
Untuk
kepentingan pencatatan perkawinan, akan didenda sebesar lima puluh rupiah. Usaha pembentukan Undang-undang perkawinan di
Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu pemerintah membentuk panitia
penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang memiliki dua tugas
yang pertama yaitu melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan
yang telah ada dan yang kedua menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan
yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
Setelah
menempuh perjalanan panjang akhirnya Bangsa Indonesia mengesahkan Undang-undang
Nasional yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, meskipun sebelumnya
mengalami kritikan yang tajam baik dari pihak politisi maupun dari berbagai
ormas Islam yang ada.
Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang Perkawinan Nasional.
Undang-Undang tersebut diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974 dan
berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober tahun 1975. Dengan demikian
Undang-Undang perkawinan Nasional berlaku untuk semua Warga negara di seluruh
wilayah Indonesia, Undang-Undang ini berusaha menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan Hukum Perkawinan yang berlaku untuk semua golongan dalam
masyarakat dan sekaligus telah memberi landasan Hukum Perkawinan Nasional.
Dengan
keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 Nomor 74) dan peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-Undang yang baru itu dinyatakan tidak berlaku.
Sebenarnya
bangsa Indonesia telah lama bercita-cita untuk mempunyai Undang-undang yang
mengatur Perkawinan secara Nasional, yang berlaku bagi semua Warga Negara
Indonesia. Namun cita-cita tersebut baru dapat terwujud pada tahun 1974,
tepatnya pada tanggal 2 Januari 1974. yaitu dengan di undangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(Selanjutnya disingkat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam
Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa: Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordanatie Perkawinan Indonesia Kristen
(huwelijks Ordanantie Christen Indonesier, S 1933 No 74),Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, S 1898 No. 158 ) dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undangundang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
66 di atas tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Perkawinan
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen
Indonesier, S. 1933 Np 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
Gemengde huwelijken, S. 1898 Nomor 158), dan Peraturan-peraturan lainnya yang
mengatur tentang perkawinan, melainkan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selanjutnya
dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ditetapkan, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,
sedangkan pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud, diundangkan pada
tanggal 1 April 1975, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disingkat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975
(Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Dengan demikian Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975.
Dari
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat
diketahui, bahwa hal-hal mengenai :
a. Pencatatan
Perkawinan
b. Tata
cara Perkawinan
c. Akta
perkawinan
d. Tata
cara Perceraian
e. Pembatalan
Perkawinan
f.
Waktu tunggu
g. Beristri
lebih dari seorang
Telah
mendapat pengaturan, sehingga dapat diperlakukan secara efektif, sedangkan
hal-hal mengenai :
a. Harta
benda dalam perkawinan
b. Hak
kewajiban orang tua dan anak
c. Kedudukan
anak
d. Perwalian
Belum
mendapatkan pengaturan, sehingga belum dapat diperlukan secara efektif, maka
dengan sendirinya masih diperlukan ketentuanketentuan dan perundang-undangan
yang lama Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di muka dapatlah
disimpulkan, bahwa semua peraturan perkawinan yang ada sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mendaftarkan kepada
golongan penduduk dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. selanjutnya perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
Sejak
berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
bersifat Nasional, di dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing
agama dan kepercayaan, masing-masing merupakan syarat mutlak untuk
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
I.
PRINSIP-PRINSIP UU No.1 TAHUN 1974
Asas-asas
atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan
Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil.
b. Dalam
Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu Perkawinan adalah sah bila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu
tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-Undang
Menganut Asas Monogami. Hanya apabila dikehedaki oleh yang bersangkutan karena
Hukum dan Agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari satu. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon
suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah
adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Karena
perkawinan yang dilakukan wanita di bawah umur mengakibatkan tingkat kelahiran
semakin tinggi. Oleh karena itu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
d. Karena
Tujuan Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus
dilakukan di depan pengadilan.
e. Hak
dan Kedudukan seorang Isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat
diputuskan bersama antara suami isteri.
Untuk
menjamin kepastian hukum maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dilaksanakan menurut hukum yang ada
pada saat itu maka Perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut Hukum.
J. HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA
TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN
Dengan
adanya perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita maka
menghasilkan buah dari perkawinan mereka yaitu lahirlah seorang anak. Dengan lahirnya
seorang anak maka timbulnya hubungan antara orang tua dengan anak yang
dilahirkannya. Akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan
menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu sebagai berikut:
1. Hal
yang pertama yaitu mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan,
bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 45
Undang-undang Perkawinan;
2. Hal
yang kedua yaitu terjadi dalam praktek, apabila perkawinan kedua orang tua
putus karena perceraian atau karena putusan pengadilan, maka atas permohonan
dari pihak suami atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut
kepada suami isteri yang benar-benar beritikad baik, untuk dipelihara dan didik
anak mereka secara baik.
3. Hal
yang ketiga yaitu bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
kawin, masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaanya.
4. Hal
yang keempat yaitu Orang tua berhak mewakili anak mereka tersebut, mengenai
segala perbuatan hukum didalam dan di luar Pengadilan.
5. Hal
yang kelima yaitu Orang tua boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau kepentingan anak itu menghendaki.
Kekuasaan
salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang.
K.
KEDUDUKAN ANAK DAN PERWALIANNYA
Menurut
ketentuan Undang-undang Perwalian kedudukan anak diatur secara otentik (resmi
di dalam undang-undang) dan secara rinci. Pertama yang ditegaskan adalah Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan alam perkawinan atau akibat perkawinan.
Sedangkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga dari ibunya.
Kedudukan
anak tersebut di dalam ketentuan terdahulu selanjutnya akan di atur di dalam
Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan tersebut di atas di atur di dalam
Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-undang Perkawinan. Sedangkan di dalam Pasal 44
Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa seorang suami dapat menggugat sahnya
anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana sang suami dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan
isterinya. Maka Pengadilan memberikan keputusan tentang sah dan tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum negara yang
mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan
dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak
jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak
tertulis.
Menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut : “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk dapat mewujudkan
tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan
melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk
melangsungkan perkawinan.
Saat ini implementasi
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 di masyarakat sudah cukup baik, dimana UU ini
tidak menganjurkan pernikahan di bawah umur terjadi di masyarakat.
Ketentuan mengenai
batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan
bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah
umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya
dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan
berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan
keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena
pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai
tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Tetapi perkawinan di
bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih
memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai
batas umur minimal tersebut.
Pemerintah telah
mengeluarkan suatu bentuk Undang-Undang Perkawinan Nasional yang telah lama
dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974, yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi
kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan
mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1
Oktober 1975.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mengandung isi yang sangat luas, yaitu mengatur masalah perkawinan,
perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan
juga mengatur masalah perwalian serta mengatur masalah pembuktian asal-usul
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Online:https://www.google.co.id/search?q=makalah+hukum+perkawinan+menurut+uu+no+1+tahun+1974&oq=makalah+hukum+perkawinan+menurut+uu+no+1+tahun+1974&sourceid=chrome&ie=UTF-8#
// Diakses pada tanggal 24 september 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar